Terkait Aqiqah diri sendiri, maka perlu dipahami bahwa permasalahan ini memang biasanya terjadi. Oleh karena tidak semua anak memiliki kondisi yang sama di masa kecilnya. Namun, bagi para orang tua yang baru saja dikaruniai anak dari Allah SWT, menurut pedoman yang telah ada, hukum melaksanakan aqiqah adalah sebuah anjuran. Agar tidak perlu terjadi hal-hal seperti orang yang belum pernah diaqiqahkan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan didalam hadis :
Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa saalam : Dari Samurah bin
Jundab dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Semua anak bayi
tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih
hewan, diberi nama dan dicukur rambutnya”. (HR. Abu Dawud (2838),
Tirmidzi (91552), Nasa’I (7166), Ibnu Majah (3165), Ahmad (5/7-8,
17-18, 22), dan Ad Darimi (2/81)).
Akan tetapi jika pada waktu saat 7 hari kelahiran kita sendiri merasa belum pernah diaqiqahkan oleh orang tua kita terutama ayah, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus Aqiqah diri sendiri? Atau tidak usah melakukan aqiqah untuk diri kita. Bagaimanakah hukumnya? Jika ingin tahu, simaklah penjelasan dibawah ini dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai pembahasan ini.
Aqiqah diri sendiri
Pembahasan terkait aqiqah bagi diri sendiri ini memang sangat dikelirukan oleh sebagian masyarakat yang sering bertanya-tanya. Boleh gak sih jika kita mengaqiqahkan diri kita sendiri. Baik dalam pembelian hewan qurbannya atau proses aqiqahnya berlangsung?
Jawabannya adalah boleh. Mengapa demikian? Sebab, Rasulullah SAW.
Juga mengaqiqahkan dirinya sendirinya sendiri sejak Rosul diangkat
menjadi Nabi. Akan tetapi, hadis ini dho’if alias tidak kuat.
Berikut ini penggalan hadisnya :
ان النبي
صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعد ما بعث
نبيا
Yang artinya : Nabi SAW. Mengaqiqahi dirinya sendiri setelah ia
diutus sebagai Nabi. (HR. Al-Baihaqi 9:300)
Banyak perdebatan masalah penggalan hadis diatas, salah satunya
disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (8:250) , berkata
bahwa hadis ini adalah hadis batil. Sedangkan Al-Baihaqi mengatakan
bahwa hadis ini adalah hadis yang munkar. Jadi banyak pendapat yang
tidak setuju dengan hadis ini.
Karena aqiqah adalah salah satu tanggung jawab para ayah untuk mengaqiqahkan anaknya. Kita kembali kepada tujuan aqiqah bahwa, aqiqah adalah salah satu ucapan rasa syukur kita kepada Allah SWT. Yang telah menganugerahi keturunan sebagai pelengkap didalam keluarganya. Dan ayahlah yang bertanggung jawab akan aqiqah, bukan ibu, saudara, maupun diri kita sendiri.
Pendapat para ulama terkait aqiqah diri sendiri
Muhammad bin Qosim Al-Ghozzi adalah penulis Kitab Fathul Qorib
didalamnya terdapat pendapat Mazhab Syafi’i yang mengatakan bahwa :
Aqiqah tidaklah luput jika diakhirkan setelah itu. Jika aqiqah
diakhirkan hingga baligh, maka gugurlah tanggung jawab aqiqah dari
orang tua terhadap anak. Adapun setelah baligh, anak punya pilihan
bisa mengaqiqahi dirinya sendiri.
jadi, jika si anak sudah baligh belum juga diaqiqahkan oleh orang
tuanya, maka orang tua sudah tidak ada kewajiban untuk mengaqiqahkan
anaknya, tanggung jawabnya gugur untuk mengaqiqahkan anaknya. Jika
seorang anak sudah baligh dia berhak untuk mengaqiqahkan dirinya
sendiri.
Ada ulama yang menyetujui pendapat bahwa jika kita belum pernah
diaqiqahkan oleh orang tua kita maka kita dianjurkan untuk
mengaqiqahkan diri kita sendiri seperti Ibnu Sirin.
Ibnu Sirin berkata :
لو أعلم أنه
لم يعق عني لعققت عن نفسي
Artinya : “seandainya aku tahu bahwa aku belum diaqiqahi, maka
aku akan mengaqiqahkan diriku sendiri.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan
Mushonnaf, 8: 235-236. Sanadnya shahih kata syaikh Al-Albani dalam As
Silsilah Ash Shahihah no.2726).
Sedangkan Imam Malik bertentangan dengan pendapat diatas,
menyatakan bahwa jika masih kecil belum di aqiqahkan maka, tidak usah
diaqiqahkan juga tidak apa-apa sebab aqiqah hanyalah sebagai satu
simbol kebiasaan umat islam dan hukumnya sunnah muakkad.
Imam Malik menyatakan bahwa yang belum aqiqah mereka tidak
mengaqiqahi dirinya sendiri setelah masuk islam. (Al-Mudawanah
Al-Kubro karya Imam Malik dengan riwayat Sahnun dari Ibnu Qosim,5:
243. Dinukil dari Fathul Qarib, 2: 252).
Tidak perlu mengaqiqahkan diri sendiri. Berikut perkataannya :
tidak perlu menaqiqahi diri sendiri karena hadis yang membicarakan
hal tersebut dho’if. Bisa kita lihat, apakah di zaman jahiliyah
para sahabat Rasulullah SAW. Mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah
masuk islam? tentunya tidak.
Kesimpulan
Begitulah beberapa pendapat terkait pelaksanaan aqiqah bagi diri sendiri. Tujuannya agar tidak ada kesalah pahaman. Sebab bisa saja terjadi pertentangan, oleh karena kebolehan diatas merujuk kepada hadis dho’if. Namun kami secara pribadi memasukkan hadis dho’if sebagai landasan apabila tidak terdapat dalil lainnya yang lebih kuat daripada dalil tersebut.
Sehingga di sini terdapat dua aspek yang dapat kita pahami. Yaitu
bagaimana memahami hukum dan melihat pendapat yang paling tepat di
ambil jika terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Lebih dari itu,
dari semua pendapat, tidak ada yang mewajibkan, tidak pula ada yang
mengharamkan.
Sedangkan jika dibahas menurut hukum aqiqah sendiri, adalah
sunnah, maka aslinya, saat tidak dilaksanakan bahkan hingga sudah
dewasa ternyata tidak menyebabkan dosa. Sehingga bagaimanapun
perbedaannya, untuk memahami hal ini bisa dikembalikan kepada hukum
aqiqah asal yaitu saat masih berusia 7 hari setelah kelahiran.
Demikian ulasan dan pendapat kami yang kami dasari dengan landasan
yang kami sampaikan diatas. Amalan ibadah individual ini memang
dikembalikan kepada individunya masing-masing. Semoga ulasan ini
dapat memberikan pencerahan kepada kita semua. Mohon maaf apabila
terjadi kesalahan. Wallahu a’lam.
Bagi orang tua yang
baru saja dikaruniai anak, maka melaksanakan aqiqah adalah salah satu
ibadah yang dianjurkan. Tata cara melaksanakan aqiqah juga harus
diperhatikan, agar pelaksanaan ibadah ini dapat diterima oleh Allah
SWT. Karena hanya ibadah yang sesuai tuntunan saja yang dapat
diterima oleh Allah SWT, sang penentu syariat.
Aqiqah adalah wujud
rasa syukur atas karunia keturunan yang Allah SWT anugerahkan kepada
kita. Rasa syukur ini diwujudkan dengan melaksanakan aqiqah
sebagaimana tata cara yang telah ditentukan, yaitu sesuai sunnah
Rasulullah SAW. Sebelum masa Rasulullah, aqiqah sudah dilaksanakan
sesuai kepercayaan orang arab pada masanya. Untuk mensucikan kembali
ibadah ini, Rasulullah SAW kemudian mencontohkan tata caranya kepada
kita.
Saat ini pelaksanaan aqiqah dilaksanakan dengan berbagai cara. Dari semua cara yang dilakukan, sebenarnya ada beberapa tata pelaksanaan yang tetap harus ada sebagai ibadah yang sebenarnya. Sedangkan yang lainnya hanyalah tambahan yang menjadi teknis acara saja. Bagaimana tata cara melaksanakan aqiqah yang sesuai dengan sunnah?
Para Ulama fikih
mazhab Syafi’I dan pendapat Masyhur Mazhab Hanbali menyatakan bahwa
Aqiqah hukumnya Sunnah Muakkadah (Sunnah yang sangat dianjurkan untuk
melakukannya). (Nihayatul Muhtaj (8/137), Al-Majmu’ dan Imam
An-Nawawi (8/435), Mathalib Ulin Nuha (2/488), Mughnil Muhtaz
(4/293)).
Mereka berdalil
dengan hadist Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa saalam : Dari
Samurah bin Jundab dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Semua
anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya
disembelih hewan, diberi nama dan dicukur rambutnya”. (HR. Abu
Dawud (2838), Tirmidzi (91552), Nasa’I (7166), Ibnu Majah (3165),
Ahmad (5/7-8, 17-18, 22), dan Ad Darimi (2/81)).
Maka kami memahami,
bahwa menurut hemat kami, aqiqah hukumnya adalah sunnah muakkad.
Maknanya adalah sunnah yang dikuatkan. Kami juga memahami bisa saja
terdapat perbedaan pendapat dalam permasalah ini, namun kami tetap
mengambil pendapat ini sesuai pilihan kami.
Jika aqiqah hukumnya
sunnah muakkad, maka saat berniat melaksanakannya tetap wajib untuk
melakukannya sesuai dengan yang dicontohkan. Karena apabila tidak
sesuai tuntunan, ibadah sunnah ini juga tidak sah dilaksanakan, atau
dihukumi tidak bernilai ibadah sama sekali.
Tata Cara
Pelaksanaan Aqiqah
Jika melaksanakan aqiqah sesuai tuntunan perlu dilakukan agar menjadi ibadah yang bernilai pahala, maka Anda perlu mengetahui tata caranya. Berikut beberapa tata cara melaksanakan aqiqah yang praktis :
1. Memberikan Nama
Anak
Bagi sebagian
referensi, memberikan nama anak dijadikan tata cara yang kedua
setelah menyembelih kambing. Hal ini sah-sah saja. Namun, saat
menyembelih kambing, sebenarnya nama anak disebutkan didalam doanya.
Sehingga kami mengambil pendapat bahwa mempersiapkan nama anak
didahulukan dalam tata cara ini.
Meskipun begitu, saat pelaksanaan acara aqiqah yang diadakan di tempat-tempat khusus yang dirancang jasa kontraktor jogja atau pembagian masakan aqiqah kepada kerabat-lah nama anak kemudian diketahui oleh khalayak dan didoakan. Jadi, apabila sudah dipersiapkan sebelumnya, akan lebih mudah untuk melengkapi pelaksanaan ibadah aqiqah ini. Sehingga saat penyembelihan, nama anak sudah disebutkan dalam doa penyembelihan hewan.
2. Menyembelih
Kambing
Hewan aqiqah yang paling dianjurkan adalah kambing. Baik jantan maupun betina. Hal ini berdasarkan hadits :
Dari Ummu Kurz ia berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda ‘Untuk seorang anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan adalah seekor kambing. Tidak mengapa bagi kalian apakah ia kambing jantan atau betina’.” (HR. Abu Dawud no. 2834-2835)
Sebagian referensi
menyatakan terdapat beberapa hewan ternak lainnya yang juga dapat
dijadikan hewan aqiqah. Namun kami mengambil pendapat bahwa hewan
aqiqah adalah kambing dan yang sejenisnya seperti domba.
Bismillah Allahu Akbar Allaahumma minka wa laka, haadzihi ‘aqiiqotu fulaan (Dengan Nama Allah, Allah adalah Yang Terbesar, Ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu. Ini adalah aqiqoh fulaan).
3. Memasak Daging
Kambing
Memasak daging aqiqah menjadi tata cara pelaksanaan aqiqah oleh karena jumhur Ulama sepakat bahwa daging hewan aqiqah dibagikan dalam keadaan telah dimasak. Berikut pendapatnya :
“Dianjurkan
untuk tidak membagikan daging hewan aqiqah dalam keadaan mentah, akan
tetapi dimasak terlebih dahulu kemudian diantarkan kepada orang fakir
dengan nampan.” (Imam Al-Baghawi dalam kitab Atahzib)
Selain itu memang hal ini berlandaskan dalil :
Hadits Aisyah r.a: “Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya. Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh”. (HR al-Bayhaqi)
Jadi melalui Aisyah r.a. bahwa Nabi menganjurkan hewan aqiqah dibagikan dalam keadaan telah dimasak.
4. Mencukur Rambut
Bayi
Biasanya aktivitas
mencukur rambut bayi ini dilakukan dengan pemberian nama sekaligus.
Namun intinya, baik mencukur rambut bayi dan memberikan nama
dilakukan pada hari ketujuh. Sekaligus menyembelih hewan aqiqah.
Hukum mencukur rambut bayi ini menurut kalangan Ulama hukumnya
sunnah.
5. Memakan Sebagian
Daging
Disebut memakan
sebagian daging oleh karena dianjurkan untuk bersedekah juga dengan
hewan aqiqah pada saat hari ketujuh yaitu pada saat pelaksanaan
aqiqah. Hal ini berdasarkan,
Hadits Aisyah r.a:
“Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor
kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya.
Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh”.
(HR al-Bayhaqi)
Jadi daging hewan
aqiqah dimakan sebagian dan sebagian lagi dibagikan sebagaimana
pembagian hewan qurban.
Itu dia tata cara pelaksanaan aqiqah. Semua hal yang terdapat pada tata cara ini bukan merupakan urutan, namun bisa juga diurutkan demikian. Inti pelaksanaan aqiqah adalah menyembelih hewan, memberi nama dan mencukur rambut sebagai kewajiban orang tua kepada anak yang baru lahir pada hari ketujuhnya.
Simak berbagai ulasan terkait aqiqah, kehamilan, ibu dan anak di halaman aqiqah purwokerto.
Aqiqah adalah kewajiban bagi setiap orang tua kepada anaknya yang baru lahir. Maka bagi para orang tua, meskipun baru, perlu memahami berbagai informasi terkait aqiqah ini. Agar pelaksanaan aqiqah dapat dijalankan sebaik mungkin dan semuanya berjalan sesuai ajaran Islam. Sehingga hak anak yang baru lahir dapat terpenuhi.
Memang diantara
masyarakat sudah ada para Ustadz atau Imam yang bisa membantu para
orang tua yang belum berpengalaman untuk melaksanakan acara ini.
Tetapi tidak ada salahnya, sebagai orang tua, kita memahami segala
hal yang terkait dengan hak anak-anak kita, salah satunya adalah
melaksanakan aqiqah.
Aqiqah ini merupakan ajaran Islam. Melakasanakan aqiqah sesuai As Sunnah sebenarnya merupakan pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT. Maka, pedoman terhadap pelaksanaan ibadah ini tidak boleh tidak, harus bersandar kepada fiqih Islam. Untuk membantu memberikan pemahaman ini kepada para orang tua, berikut kami ringkas beberapa informasi terkait aqiqah.
Definisi Aqiqah
Aqiqah adalah
penyembelihan hewan yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada
Allah SWT terhadap karunia anak yang telah diamanahkan kepada kita.
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad dan jumhur ulama bahwa
dari segi syar’i, maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna
berkurban atau menyembelih (An-Nasikah).
Imam Jauhari
berkata, Aqiqah ialah “Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan
mencukur rambutnya”. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata “Dari
penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena
mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama”.
Demikian makna
aqiqah yang bisa kami ringkas.
Hukum Aqiqah
Karena merupakan
ibadah, maka pelaksanaan aqiqah ini memiliki landasan hukumnya. Hukum
melaksanakan aqiqah adalah sebagai berikut :
Para Ulama fikih
mazhab Syafi’I dan pendapat Masyhur Mazhab Hanbali menyatakan bahwa
Aqiqah hukumnya Sunnah Muakkadah (Sunnah yang sangat dianjurkan untuk
melakukannya). (Nihayatul Muhtaj, (8/137), Al-Majmu’ dan Imam
An-Nawawi (8/435), Mathalib Ulin Nuha (2/488), Mughnil Muhtaz
(4/293)).
Mereka berdalil
dengan hadist Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa saalam : Dari
Samurah bin Jundab dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Semua
anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya
disembelih hewan, diberi nama dan dicukur rambutnya”. (HR. Abu
Dawud (2838), Tirmidzi (91552), Nasa’I (7166), Ibnu Majah (3165),
Ahmad (5/7-8, 17-18, 22), dan Ad Darimi (2/81)).
Maka kami memahami,
bahwa menurut hemat kami, aqiqah hukumnya adalah sunnah muakkad.
Maknanya adalah sunnah yang dikuatkan. Kami juga memahami bisa saja
terdapat perbedaan pendapat dalam permasalah ini, namun kami tetap
mengambil pendapat ini sesuai pilihan kami.
Hewan Aqiqah
Kebanyakan dari Umat
Muslim memahami bahwa hewan aqiqah adalah kambing. Jika lahir bayi
laki-laki, maka aqiqahnya adalah menyembelih 2 ekor kambing.
Sedangkan jika lahir bayi perempuan maka aqiqahnya adalah menyembelih
1 ekor kambing. Nah, bagaimana pembahasan yang sebenarnya? Berikut
kami ringkas.
Dalil hewan aqiqah
Dari Ummu Kurz ia berkata: Aku mendengar Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Untuk seorang anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan adalah seekor kambing. Tidak mengapa bagi kalian apakah ia kambing jantan atau betina”.
Dari Ibnu ’Abbas: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu meng- ’aqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain masing-masing dengan seekor kambing”.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah. Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka sembelihlah jadza’ah dari domba.” (HR. Muslim no. 1963).
Dari dalil-dalil
ini, kami memahami bahwa, hewan aqiqah adalah kambing atau hewan yang
sejenis seperti domba. Bagi bayi laki-laki 2 ekor, sedangkan bagi
bayi perempuan 1 ekor. Dibolehkan aqiqah 1 ekor kambing saja bagi
bayi laki-laki.
Hewan aqiqah sebaiknya kambing musinnah (yang sudah tumbuh giginya), yaitu berusia minimal 2 tahun. Jika tidak memungkinkan boleh hewan kambing yang berusia 6 bulan hingga satu tahun (jadza’ah).
Terdapat pendapat
lainnya yang membolehkan hewan seperti Sapi, Kerbau dan Unta. Namun
kami tidak mengambil demikian sesuai pilihan kami. Jika para pembaca
menemukan dalil yang membolehkan untuk hewan lainnya sebagai aqiqah,
semua kembali kepada pilihan masing-masing.
Kriteria Kambing
Aqiqah
Menurut pendapat sebagian ulama’, dalam kesempatan ini belum bisa kami sertakan, ada syarat terkait kambing yang akan menjadi hewan aqiqah. Maksudnya adalah, saat memilih kambing aqiqah, sebaiknya perhatikan bagaimana kondisi kambing yang akan dipilih.
Untuk membantu Anda, kami melihat terdapat kriteria lainnya selain umur dan jenis kelamin kambing. Kriteria tersebut terbagi menjadi kriteria utama dan kriteria kesehatan kambing aqiqah.
Kriteria utama kambing aqiqah adalah :
Fisiknya sempurna
Gemuk dan lemaknya banyak
Sudah cukup usia
Sedangkan kriteria
kesehatan kambing aqiqah adalah tidak memiliki cacat dan tidak kurus.
Pelaksanaan Aqiqah
Saat ini acara aqiqah sering dilaksanakan bak acara pesta atau kenduri sunatan dengan melibatkan jasa aqiqah. Namun, bagaimanapun pelaksanaannya, sebenarnya aqiqah hanya terdiri dari dua, yaitu penyembelihan hewan dan mencukur rambut bayi. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh dalil,
Imam Jauhari berkata, Aqiqah ialah “Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya”. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata “Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama”.
Jadi yang paling penting adalah penyembelihan hewan pada hari ketujuh dan mencukur rambut bayi. Mengenai teknis dengan perayaan atau pesta, doa bersama, makan bersama, maka hal ini dikembalikan kepada orang tua. Bagi kami selama tidak melanggar syariat, maka dibolehkan. Demikian informasi terkait aqiqah, semoga bermanfaat.
Aqiqah menurut bahasa adalah memutus, memotong, atau melubangi. Sedangkan menurut istilah bermakna menyembelih kambing untuk anat yang baru lahir dengan kemauan mengharap ridho Allah SWT. selain mengharap ridlonya, aqiqah bertujuan untuk mengucapkan syukur kepadanya. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai aqiqah sesuai sunnah dan waktu pelaksanaannya.
Waktu
Pelaksanaan Aqiqah
Aqiqah
tidak ada dengan sendirinya, aqiqah saat ini menjadi salah satu adat
bagi ummat islam. Aqiqah dilakukan karena telah lahir anak adam ke
dunia. Aqiqah bertujuan untuk pengucapan rasa syukur kepada Allah dan
mengharap ridhonya, ada hadis yang menjelaskan tentang aqiqah yang
artinya : “tiap-tiap
anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelihkan pada hari ketujuh,
dicukur rambutnya, serta dinamakan”. (HR.
Ibnu Majah).
Hikmah
melaksanakan aqiqah untuk anak di hari ke 7 dan seterusnya, menurut
murid Asy Syaukani, yakni Shidiq Hasan Khon Rahimahullan: sudah
semestinya ada selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah, pada
awal kelahiran tentunya keluarga sibuk untuk merawat ibu dan bayi.
Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani dengan yang lain.“
Apalagi
setelah selesai melahirkan, jika langsung mencari kambing pasti
sangat sulit dan butuh usaha seandainya aqiqah disyariatkan di hari
pertama, maka ini sangat menyulitkan. Jadi hari ketujuhlah yang cukup
untuk melaksanakan aqiqah. Jika dihari ketujuh belum sanggup karena
belum ada uang dan sebagainya, maka dianjurkan dihari ke-14 dan 21.
Aqiqah
bukanlah suatu paksaan, melainkan kesadaran umat Islam yang peka
terhadap syariat Islam. Agar menambah rasa syukur yang Allah berikan.
Rasa syukur sangatlah penting untuk menambah keimanan dan ketaqwaan
kita kepada Allah SWT.
Aqiqah
Sesuai Sunnah
Untuk
mengetahui
aqiqah
sesuai sunnah
dilaksanakan
di hari ketujuh, keempat belas, dan kedua puluh satu. Penentuan waktu
ini yang disepakati oleh berbagai mazhab. Pendapat jumhur ulama
waktu yang disunnahkan untuk menyembelih hewan aqiqah adalah hari
ketujuh setelah kelahiran bayi, akan tetapi jika mengaqiqahkan bayi
diluar hari ketujuh jumhur ulama berpendapat berbeda-beda.
Mazhab
Syafi’i dan Hambali membolehkan pelaksanaan aqiqah pada saat waktu
bayi baru dilahirkan dan tidak harus menunggu hari ketujuh. Dan kedua
mazhab ini tidak memperbolehkan melakukan aqiqah sebelum bayi itu
dilahirkan dari rahim ibunya. Jika pihak keluarga menyembelih hewan,
maka bukan termasuk aqiqah melainkan sembelihan biasa.
Pendapat
menurut mazhab hanafi dan maliki membolehkan pelaksanaan aqiqah pada
hari ketujuh setelah bayi dilahirkan. Jadi banyak sekali pendapat
dari mazhab-mazhab, bisa dilihat dari sisi apa saja. Pada dasarnya
aqiqah adalah salah satu sunnah yang dianjurkan nabi, hukumnya sunnah
muakad.
Jika
ingin melaksanakan aqiqah disarankan pada hari ketujuh, empat belas,
dan dua puluh satu. Jika melewati hari tersebut maka sesanggupnya
saja. Sebab islam tidak pernah membebankan ummatnya dalam beribadah,
jadi yang melakukan aqiqah adalah orang-orang yang berkecukupan.
Jika
bayi telah lahir dan orang tuanya berkesanggupan untuk
menyelenggarakan aqiqah untuk anaknya maka diperbolehkan. Yang tidak
dibolehkan, jika anak masih berada di dalam perut ibunya kemudian
keluarga menyelenggarakan aqiqah maka hukumnya bukan aqiqah,
melainkan penyembelihan biasa.
Demikianlah yang telah dipaparkan pada artikel Padi Aqiqah, salah satu penyedia jasa aqiqah Purwokerto dan daerah sekitarnya mengenai aqiqah sesuai sunnah semoga dapat membantu bagi yang masih meragukan masalah aqiqah ini. Kesimpulannya aqiqah sesuai sunnah dilakukan di hari ke 7 dan 14 serta 21. Dan dalam fikih Syafi’i yang pengikutnya mayoritas di Indonesia anak boleh mengaqiqahkan dirinya sendiri jika mampu. Terimakasih.